Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasurama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa dan Korawa.
Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala. Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila untuk memperebutkan Sita putri negeri tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Rama yang dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya. Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awatara Wisnu, karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali sebagai Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara Wisnu saat itu telah berakhir namun sebagai seorang Ciranjiwin, ia hidup abadi.
Pada zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali sebagai Kresna putra Basudewa. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di Kurukshetra.
Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara
Om Swastiastu, Om Sahana Vavatu, Saha Nau Bhunaktu, Saha Viiryam Karavaavahai, Tejasvi Nau-Adhiitam-Astu, Maa Vidvissaavahai, OM Santhi Santhi Santhi OM. Disini saya akan menampilkan kumpulan Artikel-Artikel Hindu dari sumber yang berbeda.
Sunday, May 10, 2015
Wamana Awatara
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.
Selain itu perwujudan Wisnu sebagai manusia cebol ini memberikan sedikit pelajaran dimana kita sebagai manusia hendaknya jangan menganggap remeh seseorang, apalagi dilihat dari sisi fisik, karena fisik seseorang tidak menentukan kemampuan seseorang yang sebenarnya.
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.
Selain itu perwujudan Wisnu sebagai manusia cebol ini memberikan sedikit pelajaran dimana kita sebagai manusia hendaknya jangan menganggap remeh seseorang, apalagi dilihat dari sisi fisik, karena fisik seseorang tidak menentukan kemampuan seseorang yang sebenarnya.
Narasimha Awatara / Narasinga Awatara
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Mengetahui para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul".
Mendengar jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan menghancurkan pilar rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan. Pada saat itulah Dewa Wisnu sebagai Narasinga muncul dari pilar yang dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Makna dari cerita
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Mengetahui para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul".
Mendengar jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan menghancurkan pilar rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan. Pada saat itulah Dewa Wisnu sebagai Narasinga muncul dari pilar yang dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Makna dari cerita
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.
Waraha Awatara
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Dia memenangkan pertarungan, Dia mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Dia memenangkan pertarungan, Dia mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
Sunday, May 3, 2015
Kurma Awatara
Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mengaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mengaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
- Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
Apsara, kaum bidadari kahyangan
Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
Uccaihsrawa, kuda para Dewa
Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan
Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
Airawata, kendaraan Dewa Indra - Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuraPerebutan tirta amerta
Perebutan tirta amerta
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
Matsya Awatara
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari: मत्स्य; IAST: matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.
Kisah tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana dan juga Purana lainnya. Diceritakan bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya dia sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke samudera. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan, dan mengajak Saptaresi (tujuh nabi). Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Menurut Matsyapurana, seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang mencurahkan hujan lebat tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.
Kisah tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana dan juga Purana lainnya. Diceritakan bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya dia sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke samudera. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan, dan mengajak Saptaresi (tujuh nabi). Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Menurut Matsyapurana, seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang mencurahkan hujan lebat tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.
Saturday, May 2, 2015
Awatara - Dasa Awatara
Awatara atau Avatar: अवतार, avatāra, baca: awatara) adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.
Dalam Bhagawadgita, salah satu kitab suci agama Hindu selain Weda, Kresna sebagai perantara Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
(Bhagavad-gītā, 4.7-8)
Dalam Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya.
Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia.
Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
Dasa Awatara dari zaman ke zaman
Dalam Bhagawadgita, salah satu kitab suci agama Hindu selain Weda, Kresna sebagai perantara Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
“ | Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmanam srjāmy aham paritrānāya sādhūnām vināśāya ca duskrtām dharma samsthāpanarthāya sambavāmi yuge yuge | ” |
- Arti
- Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,
- pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia,
- wahai keturunan Bharata (Arjuna).
- Untuk menyelamatkan orang-orang saleh
- dan membinasakan orang jahat
- dan menegakkan kembali kebenaran,
- Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman.
Dalam Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya.
Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia.
Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
Dasa Awatara dari zaman ke zaman
- Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
- Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
- Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
- Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
- Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
- Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
- Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
- Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
- Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
- Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
Cara Sembahyang
Gurunda, di dalam uraian mengenai
upacara tadi Guru sering menyatakan perlu dilakukan persembahyangan. Mohon
diberi penjelasan perihal sembahyang itu.
Rsi Dharmakerti:
Baiklah anakku. Ketahuilah bahwa
ada tiga macam cara-cara sembahyang (muspa), yaitu:
- Muspa bersama dengan diantar puja Sang Sulinggih.
- Muspa bersama yang tidak diantar puja Sulinggih.
- Muspa yang dilakukan oleh perseorangan
Dalam hal muspa inipun ada ketentuan-ketentuan yaitu:Untuk membangkitkan dan menjamin suasana kesucian, maka sebelum muspa hendaknya:
- Mandi dengan air bersih, kalau dapat dengan air wangi (kumkuman)
- Pakaian bersih yang khusus untuk muspa dengan paling sedikit kampuh atau selendang, secarik kain putih kuning
- Tempat dan alat persembahyangan yang bersih dan suci
- Waktu menuju ke tempat muspa pikiran sudah diarahkan ke hal-hal yang suci dengan lagu-lagu keagamaan (kidung).
- Duduk dengan rapi yaitu (pria dengan cara bersila dan wanita dengan bersimpuh)
- Melakukan “achamana” yaitu membersihkan tangan dan mulut dengan air atau bunga.
- Mempersiapkan dupa, kembang dan kembang berisi sesari untuk dana punia yaitu kewangen.Setelah persiapan selesai, mulai dengan sikap sembahyang:
- Pertama dengan tangan mulai dicakupkan, diangkat ke dahi tanpa kembang (muspa kosong) yaitu untuk menenangkan pikiran dengan membayangkan Sang Hyang Widhi.
- Sembah selanjutnya yang dengan tangan dicakupkan lagi serta ngagem kembang atau kewangen sampai ke atas dahi mengikuti antara puja Sulinggih yang ditujukan kepada:
- Hyang Surya Raditya sebagai saksi dalam persembahyangan (dengan bunga)
- Hyang Widhi Wasa, memuja keagunganNya, serta memohon maaf dan memohon anugrahNya (dengan bunga).
- Sarwa dewata atau Dewa Samudaya, yaitu para dewa dan bhatara bhatari leluhur untuk meminta tuntunannya (dengan kewangen).
- Sembah terakhir dengan tangan dicakupkan lagi tanpa kembang (muspa kosong) dengan maksud menerima limpahan anugrah Sang Hyang Widhi dan membayangkan Hyang Widhi kembali. Turun naiknya tangan diatur oleh mulai dan berhentinya suara genta Sulinggih.
- Menerima air suci (tirtha) dari Sang Hyang Widhi, sesuai dengan tuntunan Sulinggih untuk dipercikkan ke ubun-ubun, diminum dan diraupkan ke muka sebagai wakil dari seluruh badan, dengan maksud mensucikan pikiran (idep), ucapan (sabda), perbuatan (bayu) secara berturut-turut; dipercikkan untuk pensucian pikiran, diminum untuk kesucian ucapan dan raupan untuk pensucian perbuatan.
- Menerima bija (beras direndam dalam air cendana) untuk dimakan dan ditempelkan di dahi sebagai simbul mendapat rejeki dari Hyang Widhi Wasa.
- Menerima/mengambil bunga yang ada di tempat tirtha untuk disuntingkan, guna menambah berserinya hati dan perasaan setelah menghaturkan bhakti.
- Bangun dengan tertib, diusahakan agar mulai dari barisan belakang.Jika kita sembahyang bersama tanpa di antar puja Sulinggih maka dapat dilakukan sebagai berikut:Setelah Pemangku (pemuka agama) selesai dengan menghaturkan yadnya dan tiba saatnya mulai sembahyang, pemuka agama mempersilahkan dimulainya sembahyang pada Sang Hyang Widhi dan seterusnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan cara persembahyangan tersebut di atas. Segala antaran sembahyang diucapkan dengan japa (ucapan pikiran) sendiri-sendiri.Setiap pergantian naik turunnya tangan waktu muspa dapat diatur dengan baik-bait kekawin yang daapt diambil dari Arjuna Wiwaha yaitu:Ong sembah ning anatha tinghalana de triloka sarana (muspa angka 2a diatas selesai)
Wahya dyatmika sembahing hulun i jengta tan hana waneh (muspa angka 2b diatas selesai)
Sang lwir agni saking tahen kadi minyak saking dadi kita (muspa angka 2c diatas selesai)
Sang saksat metu yang hana wang amuter tutus pinahayu (sembah angka 3 selesai)Artinya:
Saksikanlah ya Hyang Widhi Wasa penguasa ketiga dunia sembah sujud hamba orang nista ini, lahir batin hamba menghaturkan sembah kehadapan Hyang Widhi Wasa tidak ada lainnya lagi. Hyang Widhi Wasa sebagai api yang ada di dalam kayu (pembuat api), sebagai minyak yang ada dalam santan (susu). Yang pasti akan nampak nyata, jika ada orang yang membahas memperdalam ajaran suci luhur.(Keterangan: Api akan keluar dari tongkat kayu kecil yang diputar-putarkan pada kayu lainnya (makusu). Minyak akan keluar jika susu atau santan di-aduk-aduk di atas api).Adapun untuk sembahyang sendiri-sendiri:Dapat dilakukan di waktu dan tempat yang dipilih sendiri dengan mengikuti tuntunan Tri Sandya.Persembahyangan biasanya dilakukan oleh umum pada waktu upacara-upacara Dewa yadnya dan upacara Bhuta yadnya. Sedangkan pada waktu upacara Manusa yadnya, Pitra yadnya dan Rsi Yadnya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai sangkutan hubungan kekeluargaan.Disamping itu anakku, ada juga ketentuan lain yang patut diingat yaitu bermacam sikap menyembah yaitu:
- Kehadapan Sang Hyang Widhi, cakupkan tangan diletakkan di atas dahi hingga ujung jari ada di atas ubun-ubun.
- Kepada dewa-dewa supaya ujung jari di dahi di antara kening.
- Kepada pitara ujung jari supaya di ujung hidung
- Kepada manusia, tangan di hulu hati, dengan ujung jari mengarah ke atas
- Kepada bhuta, tangan di hulu hati, tetapi ujung jari mengarah ke bawahSang Suyasa:Mohon Gurunda lebih memperinci lagi tentang pelaksanaan sembahyang agar hamba dapat melaksanakannya dengan tepat walaupun hamba lakukan sendiri.Rsi Dharmakerti:Baiklah anakku, dengarkanlah. Sebagai sudah anaknda ketahui bahwa yang harus dipersiapkan ialah air, dupa, bunga dan kewangen. Semua ini diletakkan di hadapan kita. Sikap sembahyang adalah dengan duduk bersila bagi laki-laki dan bersimpuh bagi wanita. Tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan boleh dilakukan secara berdiri (pada asana).Pelaksanaan selanjutnya ialah:
- Bukalah tutup kepala agar ubun-ubun yang dianggap sebagai Siwa dwara atau pintu Hyang Widhi tidak terhalang. (Perhatikan kata-kata “dwara” yang sama dengan kata “door” dan “deur” dalam bahasa Inggris dan Belanda yang arinya “pintu – Red).
- Duduklah dengan tenang serta memulai memusatkan pikiran dengan ucapan mantra:Om prasadasthiti sarira, Siwa suci nirmala namahO, Hyang Widhi yang hamba puja, Hyang Widhi dalam wujud Siwa suci dan tak bernoda, hamba telah duduk dengan tenang.
- Cucilah tangan dengan air atau bungan dengan puja:
- untuk tangan kanan“Om suddhaya mam swaha”(O Hyang Widhi semoga disucikan tangan kami)
- untuk tangan kiri“Om atisuddhaya mam swaha”(O Hyang Widhi semoga sangat disucikan tangan kami)
- Bersihkan mulut dengan berkumur air serta puja“Om waktra soddhaya mam swaha”(O, Hyang Widhi mohon dibersihkan mulut hamba)
- Ambil dupa yang telah dinyalakan, pegang setinggi ulu hati dengan tangan berbentuk kojung dan mengucapkan mantra:” Om Ang Dipastraya namah swaha”(O, Hyang Widhi, hamba mohon ketajaman sinarMu menyaksikan dan mensucikan sembah hamba).
- Mulailah sembahyang atau muspa sebagai ketentuan-ketentuan di atas dengan catatan bahwa setiap muspa kosong sebelum tangan diangkat, keduanya harus diasapi di atas dupa terlebih dahulu dengan mantra :“Om soddhaya mam swaha“Demikian juga kalau bunga atau kewangen yang akan dipakai muspa harus diasapi bersama mantra“Om puspa danta ya namah swaha”(O, Hyang Widhi hamba memohon, jadikanlah bunga ini suci).Muspa selanjutnya ialah:
- Muspa kosong (hanya dua telapak tangan dicakupkan tanpa bunga) dengan puja:“Om atma tatwatma soddha ya mam swaha”O, Hyang Widhi yang merupakan atma dari atma tatwa, sucikanlah hamba
- Muspa dengan bunga ditujukan pada Siwa Raditya, yaitu manifestasi Hyang Widhi sebagai matahari untu menyaksikan dan mengantarkan sembah kita. Puja mantranya ialah:“Om adityasya paramjyoti, rakta tejo namo stute,sweta pankaja mandhyasythe,bhaskaraya namo’stute
Om Pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanamPranamyaditya siwartham, mukti mukti warapradamOm hrang hring sah Parama Siwa raditya ya nama swaha”O, Hyang Widhi, hamba memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sinar surya yang merah cemerlang, berkilauan cahayaMu. Engkau putih suci, bersemayam di tengah-tengah laksana teratai. Engkaulah, Bhaskara (sumber cahaya), yang hampa puja selalu.O, Hyang Widhi, Cahaya sumber segala sinar, hamba menyembahMu agar segala dosa dan kotoran yang ada pada jiwa hamba menjadi sirna binasa. Karena Dikau adalah sumber bhukti dan mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani. Hamba memujaMu,O Hyang Widhi Paramasiwa aditya.Setelah selesai tangan diturunkan, bunga atau kewangen dibuang secara pelan dihadapan kita. - Muspa dengan bunga atau kewangen kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan puja:“Om nama dewa adisthanaya,sarwawya pinesiwayapadmasana ekapratisthaya,ardhanareswarya namo namah swaha”O, Hyang Widhi hamba memujaMu sebagai Dewa sumber sinar yang bersinggasana paling utama, hamba memuja Dikau sebagai Siwa Penguasa segala mahluk, hamba memujaMu sebagai satu-satunya penegak segala yang bersemayam di Padmasana. Hamba menujukan pemujaan hamba padaMu Siwaraditya dan hamba puja Hyang Widhi sebagai Ardhanareswari (Perwujudan tunggal dari laki – perempuan).
- Muspa dengan bunga kehadapan Hyang Widhi memohon keselamatan dan kesejahteraan Negara dan Bangsa dengan puja (hanya pada waktu-waktu tertentu).“Om Brahma Wisnu Iswara dewajiwatmanam trilokanamsarwa jagat pratisthanamsarwa roga wimursitamsarwa roga winasanamsarwa wighna winasanamwighna desa winasanamOm namo siwaya”O, Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemralina serta sebagai jiwa dari ketiga dunia ini. Semoga seluruh alam/negara menjadi langgeng, semua penyakit semoga menghilang, semua penyakit semoga binasa, semua halangan semoga binasa, semua bahaya semoga menghilang, semoga binasa semua perintang yang ada di negara kami Semoga Hyang Widhi memberkahi.
- Muspa dengan kewangen ditujukan kepada Hyang Widhi guna memohon anugrah dengan puja:“Om anugraha manoharam, dewadattanugrahakam,hyarchanam sarwapujanam, namah sarwanugrahakam.Om dewa-dewi mahasiddhi, yajnika tamulat idam,laksmisidhisca dirghayuh, nirwigna sukhawrdhitah,
Om ghring anugraha manoharaya namo namah swaha”Hyang Widhi, limpahkanlah anugrahMu yang menggembirakan pada hambaMu, Hyang Widhi maha pemurah yang melimpahkan segala kebahagiaan, yang dicita-citakan serta dipuja puji dengan segala pujian, hamba puja Hyang Widhi yang melimpahkan segala macam anugrah. Hyang Widhi sumber kesidian semua dewata, yang semuanya berasal dari korban suci kasih sayangMu. Limpahkanlah kemakmuran, kesidian dan umur panjang serta keselamatan dan kebahagiaan selalu. Hamba puja Dikau untuk dianugrahi kebaktian tinggi. Hamba puja Dikau untuk dianugrahi kebahagiaan. - Muspa kosong dengan tujuan menghaturkan suksma (terima kasih) atas anugrah yang telah dilimpahkan dan membayangkan Hyang Widhi kembali ke asal, dengan puja:Om dewasuksma parama achintya nama swahaOm santih, santih, santih OmHyang Widhi, hamba memujaMu dalam wujud sinar suci yang gaib serta wujud maha agung yang tak dapat dipikirkan. Semoga semuanya damai di hati, damai di dunia, damai selalu Oh Hyang Widhi.Dengan ini berakhirlah rangkaian muspa yang disusul dengan memohon tirtha (air suci yang dipujai oleh Sulinggih) dan wasuh pada (air suci pencuci kaki Hyang Widhi) yang dipercikkan, diminum dan diraupkan masing-masing tiga kali dengan mantra :“Om parathama sudha dwitya sudha, tritya sudha, sudha wari astu”Pertama suci, kedua suci, ketiga suci, suci suci semoga suci dengan air ini
Pengastawa
Untuk melaksanakan persembahyangan di suatu Khayangan atau untuk suatu
Hari Raya memerlukan pengastawa khusus.
Sloka untuk astawa menurut sumber yang ada, panjang-panjang antara 7-10 sloka. Sebenarnya sloka seperti ini untuk Para Sulinggih, tetapi untuk umat walaka cukup memakai 1 bait yang sudah dipilih yang dipandang merupakan inti dari maksud keseluruhan. Astawa-astawa dimaksud sebagai tersebut dibawah ini :
1. Untuk di Pemerajan-keminitan (rong tiga ), paibon, panti, dadie atau di pedarman-pedarman:
Om , Brahma Wisnu IÇwara dewam,jiwatman trilokanam,
Sarwa jagat pratistanam, suddha klesa winasanam,
Om guru paduka dipata ya namah
( ya Tuhan bergelar Brahma, Wisnu, Iswara yang berkenan turun menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih segala noda terhapuskan oleh MU. Ya Tuhan ,selaku bapak alam hamba memuja MU )
2. Untuk di pura Dalem:
Om catur dewi maha dewi
Catur asrama ghatari
Çiwa jagatpati dewi
Durga maÇarira dewi
Om catur dewi dipata ya nama
(ya Tuhan saktiMU berujud catur dewi yang dipuja oleh catur asrama ,sakti dari Çiwa, raja semesta alam,dalam wujud dewi Durgha, ya catur dewi hamba menyembah kebawah kakiMU)
3. Untuk di pura Desa :
Om isano sarwoa widyana,
IÇwara sarwa bhutanam,
Brahmano dhipati Brahman,
Çiwatu sada Çiwaya
Om Çiwa dipata ya namah
(ya Tuhan Hyang Tunggal yang maha sadar Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Berahmana selaku Çiwa dan sada Çiwa. Ya Hyang Çiwa hamba menyembah pada MU)
4. Untuk di pura Puseh, dan persimpangan-persimpangan Gunun Agung, untuk hari-hari Pagerwesi dan Galungan / Kuningan,
Om, Giripati maha wiryyam,
Mahadewa pratista, linggam,
Sarwa dewa Pranamyanam,
Sarwa jagat Pratistanam,
Om, Giripati dipata ya namah!
(Ya Tuhan, bergelar Giripati yang Maha Agung, Mahadewa dengan lingga yang mantap, semua Dewa sembah padaMu
Om Giripati, hamba memujaMu.)
5. Untuk Padmasana, Sanggar tawang/ Luhuring Akasa,
Om, akasa nirmala sunyam,
Guru dewa bhayomantaram,
Ciwa nirbhawa wiryanam,
Reka omkara wijanam,
Om, prama Ciwa dipata ya namah!
(Ya Tuhan, yang maha gaib laksana ether yang Maha Suci. Asal / Bapak dari semua Dewa dan semesta alam, selaku Ciwa dengan ciptaan yang Agung berwujud aksara ongkara wijaya.
Ya Prama Ciwa, hamba memujaMu.)
6. Untuk Pura Segara:
Om nagendra krura murtinam,
Gajendra matsya waktranam,
Baruna dewa masariram,
Sarwa jagat suddhatmakam,
Om baruna dipata ya namah
(Ya Tuhan ya Maharaja dari para naga yang hebat, Raja Gajahmina agung berwujud selaku dewa Baruna, pencuci jiwa para makhluk dalam alam mini, Ya Hyang Baruna, hamba menyembahMU)
7. Untuk Pura Batur, Ulun Suwi, Pura Danu/Pengulun Carik dan lain sebagainya :
Om Çri dana dewika bawyam,
Sarwa rupa watitasya,
Sarwajanaka mitidatyam,
Çri Çri dewi namastute,
Om Çri dewi dipata ya namah.
(Ya Tuhan, saktiMu selaku Dewi Çri yang maha dermawan dan mulia yang menganugerahi semua makhluk dan selalu menyucikan hati semua makhluk, Ya Dewi Çri kami memujaMU )
8. Untuk hari Saraswati :
Om Brahma Putri Maha Dewi,
Brahmanya Brahma wadhini,
Saraswati sayajanam ,
Paja naya Saraswati,
Om Saraswati dipata ya namah
(Ya Tuhan SaktiMU selaku Maha Dewi dari Brahma, Pancaran pradana dari Brahnan, Saraswati dewi kemampuan berpikir, sarswati yang tiada tara kebijaksanaanNya. Ya Dewi Saraswati hamba menyembahMU) Untuk melaksanakan persembahyangan di suatu Khayangan atau untuk suatu Hari Raya memerlukan pengastawa khusus.
Sloka untuk astawa menurut sumber yang ada, panjang-panjang antara 7-10 sloka. Sebenarnya sloka seperti ini untuk Para Sulinggih, tetapi untuk umat walaka cukup memakai 1 bait yang sudah dipilih yang dipandang merupakan inti dari maksud keseluruhan. Astawa-astawa dimaksud sebagai tersebut dibawah ini :
1. Untuk di Pemerajan-keminitan (rong tiga ), paibon, panti, dadie atau di pedarman-pedarman:
Om , Brahma Wisnu IÇwara dewam,jiwatman trilokanam,
Sarwa jagat pratistanam, suddha klesa winasanam,
Om guru paduka dipata ya namah
( ya Tuhan bergelar Brahma, Wisnu, Iswara yang berkenan turun menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih segala noda terhapuskan oleh MU. Ya Tuhan ,selaku bapak alam hamba memuja MU )
2. Untuk di pura Dalem:
Om catur dewi maha dewi
Catur asrama ghatari
Çiwa jagatpati dewi
Durga maÇarira dewi
Om catur dewi dipata ya nama
(ya Tuhan saktiMU berujud catur dewi yang dipuja oleh catur asrama ,sakti dari Çiwa, raja semesta alam,dalam wujud dewi Durgha, ya catur dewi hamba menyembah kebawah kakiMU)
3. Untuk di pura Desa :
Om isano sarwoa widyana,
IÇwara sarwa bhutanam,
Brahmano dhipati Brahman,
Çiwatu sada Çiwaya
Om Çiwa dipata ya namah
(ya Tuhan Hyang Tunggal yang maha sadar Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Berahmana selaku Çiwa dan sada Çiwa. Ya Hyang Çiwa hamba menyembah pada MU)
4. Untuk di pura Puseh, dan persimpangan-persimpangan Gunun Agung, untuk hari-hari Pagerwesi dan Galungan / Kuningan,
Om, Giripati maha wiryyam,
Mahadewa pratista, linggam,
Sarwa dewa Pranamyanam,
Sarwa jagat Pratistanam,
Om, Giripati dipata ya namah!
(Ya Tuhan, bergelar Giripati yang Maha Agung, Mahadewa dengan lingga yang mantap, semua Dewa sembah padaMu
Om Giripati, hamba memujaMu.)
5. Untuk Padmasana, Sanggar tawang/ Luhuring Akasa,
Om, akasa nirmala sunyam,
Guru dewa bhayomantaram,
Ciwa nirbhawa wiryanam,
Reka omkara wijanam,
Om, prama Ciwa dipata ya namah!
(Ya Tuhan, yang maha gaib laksana ether yang Maha Suci. Asal / Bapak dari semua Dewa dan semesta alam, selaku Ciwa dengan ciptaan yang Agung berwujud aksara ongkara wijaya.
Ya Prama Ciwa, hamba memujaMu.)
6. Untuk Pura Segara:
Om nagendra krura murtinam,
Gajendra matsya waktranam,
Baruna dewa masariram,
Sarwa jagat suddhatmakam,
Om baruna dipata ya namah
(Ya Tuhan ya Maharaja dari para naga yang hebat, Raja Gajahmina agung berwujud selaku dewa Baruna, pencuci jiwa para makhluk dalam alam mini, Ya Hyang Baruna, hamba menyembahMU)
7. Untuk Pura Batur, Ulun Suwi, Pura Danu/Pengulun Carik dan lain sebagainya :
Om Çri dana dewika bawyam,
Sarwa rupa watitasya,
Sarwajanaka mitidatyam,
Çri Çri dewi namastute,
Om Çri dewi dipata ya namah.
(Ya Tuhan, saktiMu selaku Dewi Çri yang maha dermawan dan mulia yang menganugerahi semua makhluk dan selalu menyucikan hati semua makhluk, Ya Dewi Çri kami memujaMU )
8. Untuk hari Saraswati :
Om Brahma Putri Maha Dewi,
Brahmanya Brahma wadhini,
Saraswati sayajanam ,
Paja naya Saraswati,
Om Saraswati dipata ya namah
(Ya Tuhan SaktiMU selaku Maha Dewi dari Brahma, Pancaran pradana dari Brahnan, Saraswati dewi kemampuan berpikir, sarswati yang tiada tara kebijaksanaanNya. Ya Dewi Saraswati hamba menyembahMU)
9. Untuk pelinggih-pelinggih Bhatara Sakti Bawu Rauh :
Om Dwijendara purwanam Çiwam,
Brahmanam purwantistanam,
Sarwa dewa masariram,
Surya’mrtta pawitranam,
Om Dwijendar dipata ya namah.
(Ya Dwijendra yang berasal dari Çiwa, leluhur berasal dari Brahmana yang suci, telah berbadankan dewa-dewa, surya amerta yang suci murni. Hamba memujaMU)
Sloka untuk astawa menurut sumber yang ada, panjang-panjang antara 7-10 sloka. Sebenarnya sloka seperti ini untuk Para Sulinggih, tetapi untuk umat walaka cukup memakai 1 bait yang sudah dipilih yang dipandang merupakan inti dari maksud keseluruhan. Astawa-astawa dimaksud sebagai tersebut dibawah ini :
1. Untuk di Pemerajan-keminitan (rong tiga ), paibon, panti, dadie atau di pedarman-pedarman:
Om , Brahma Wisnu IÇwara dewam,jiwatman trilokanam,
Sarwa jagat pratistanam, suddha klesa winasanam,
Om guru paduka dipata ya namah
( ya Tuhan bergelar Brahma, Wisnu, Iswara yang berkenan turun menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih segala noda terhapuskan oleh MU. Ya Tuhan ,selaku bapak alam hamba memuja MU )
2. Untuk di pura Dalem:
Om catur dewi maha dewi
Catur asrama ghatari
Çiwa jagatpati dewi
Durga maÇarira dewi
Om catur dewi dipata ya nama
(ya Tuhan saktiMU berujud catur dewi yang dipuja oleh catur asrama ,sakti dari Çiwa, raja semesta alam,dalam wujud dewi Durgha, ya catur dewi hamba menyembah kebawah kakiMU)
3. Untuk di pura Desa :
Om isano sarwoa widyana,
IÇwara sarwa bhutanam,
Brahmano dhipati Brahman,
Çiwatu sada Çiwaya
Om Çiwa dipata ya namah
(ya Tuhan Hyang Tunggal yang maha sadar Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Berahmana selaku Çiwa dan sada Çiwa. Ya Hyang Çiwa hamba menyembah pada MU)
4. Untuk di pura Puseh, dan persimpangan-persimpangan Gunun Agung, untuk hari-hari Pagerwesi dan Galungan / Kuningan,
Om, Giripati maha wiryyam,
Mahadewa pratista, linggam,
Sarwa dewa Pranamyanam,
Sarwa jagat Pratistanam,
Om, Giripati dipata ya namah!
(Ya Tuhan, bergelar Giripati yang Maha Agung, Mahadewa dengan lingga yang mantap, semua Dewa sembah padaMu
Om Giripati, hamba memujaMu.)
5. Untuk Padmasana, Sanggar tawang/ Luhuring Akasa,
Om, akasa nirmala sunyam,
Guru dewa bhayomantaram,
Ciwa nirbhawa wiryanam,
Reka omkara wijanam,
Om, prama Ciwa dipata ya namah!
(Ya Tuhan, yang maha gaib laksana ether yang Maha Suci. Asal / Bapak dari semua Dewa dan semesta alam, selaku Ciwa dengan ciptaan yang Agung berwujud aksara ongkara wijaya.
Ya Prama Ciwa, hamba memujaMu.)
6. Untuk Pura Segara:
Om nagendra krura murtinam,
Gajendra matsya waktranam,
Baruna dewa masariram,
Sarwa jagat suddhatmakam,
Om baruna dipata ya namah
(Ya Tuhan ya Maharaja dari para naga yang hebat, Raja Gajahmina agung berwujud selaku dewa Baruna, pencuci jiwa para makhluk dalam alam mini, Ya Hyang Baruna, hamba menyembahMU)
7. Untuk Pura Batur, Ulun Suwi, Pura Danu/Pengulun Carik dan lain sebagainya :
Om Çri dana dewika bawyam,
Sarwa rupa watitasya,
Sarwajanaka mitidatyam,
Çri Çri dewi namastute,
Om Çri dewi dipata ya namah.
(Ya Tuhan, saktiMu selaku Dewi Çri yang maha dermawan dan mulia yang menganugerahi semua makhluk dan selalu menyucikan hati semua makhluk, Ya Dewi Çri kami memujaMU )
8. Untuk hari Saraswati :
Om Brahma Putri Maha Dewi,
Brahmanya Brahma wadhini,
Saraswati sayajanam ,
Paja naya Saraswati,
Om Saraswati dipata ya namah
(Ya Tuhan SaktiMU selaku Maha Dewi dari Brahma, Pancaran pradana dari Brahnan, Saraswati dewi kemampuan berpikir, sarswati yang tiada tara kebijaksanaanNya. Ya Dewi Saraswati hamba menyembahMU) Untuk melaksanakan persembahyangan di suatu Khayangan atau untuk suatu Hari Raya memerlukan pengastawa khusus.
Sloka untuk astawa menurut sumber yang ada, panjang-panjang antara 7-10 sloka. Sebenarnya sloka seperti ini untuk Para Sulinggih, tetapi untuk umat walaka cukup memakai 1 bait yang sudah dipilih yang dipandang merupakan inti dari maksud keseluruhan. Astawa-astawa dimaksud sebagai tersebut dibawah ini :
1. Untuk di Pemerajan-keminitan (rong tiga ), paibon, panti, dadie atau di pedarman-pedarman:
Om , Brahma Wisnu IÇwara dewam,jiwatman trilokanam,
Sarwa jagat pratistanam, suddha klesa winasanam,
Om guru paduka dipata ya namah
( ya Tuhan bergelar Brahma, Wisnu, Iswara yang berkenan turun menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih segala noda terhapuskan oleh MU. Ya Tuhan ,selaku bapak alam hamba memuja MU )
2. Untuk di pura Dalem:
Om catur dewi maha dewi
Catur asrama ghatari
Çiwa jagatpati dewi
Durga maÇarira dewi
Om catur dewi dipata ya nama
(ya Tuhan saktiMU berujud catur dewi yang dipuja oleh catur asrama ,sakti dari Çiwa, raja semesta alam,dalam wujud dewi Durgha, ya catur dewi hamba menyembah kebawah kakiMU)
3. Untuk di pura Desa :
Om isano sarwoa widyana,
IÇwara sarwa bhutanam,
Brahmano dhipati Brahman,
Çiwatu sada Çiwaya
Om Çiwa dipata ya namah
(ya Tuhan Hyang Tunggal yang maha sadar Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Berahmana selaku Çiwa dan sada Çiwa. Ya Hyang Çiwa hamba menyembah pada MU)
4. Untuk di pura Puseh, dan persimpangan-persimpangan Gunun Agung, untuk hari-hari Pagerwesi dan Galungan / Kuningan,
Om, Giripati maha wiryyam,
Mahadewa pratista, linggam,
Sarwa dewa Pranamyanam,
Sarwa jagat Pratistanam,
Om, Giripati dipata ya namah!
(Ya Tuhan, bergelar Giripati yang Maha Agung, Mahadewa dengan lingga yang mantap, semua Dewa sembah padaMu
Om Giripati, hamba memujaMu.)
5. Untuk Padmasana, Sanggar tawang/ Luhuring Akasa,
Om, akasa nirmala sunyam,
Guru dewa bhayomantaram,
Ciwa nirbhawa wiryanam,
Reka omkara wijanam,
Om, prama Ciwa dipata ya namah!
(Ya Tuhan, yang maha gaib laksana ether yang Maha Suci. Asal / Bapak dari semua Dewa dan semesta alam, selaku Ciwa dengan ciptaan yang Agung berwujud aksara ongkara wijaya.
Ya Prama Ciwa, hamba memujaMu.)
6. Untuk Pura Segara:
Om nagendra krura murtinam,
Gajendra matsya waktranam,
Baruna dewa masariram,
Sarwa jagat suddhatmakam,
Om baruna dipata ya namah
(Ya Tuhan ya Maharaja dari para naga yang hebat, Raja Gajahmina agung berwujud selaku dewa Baruna, pencuci jiwa para makhluk dalam alam mini, Ya Hyang Baruna, hamba menyembahMU)
7. Untuk Pura Batur, Ulun Suwi, Pura Danu/Pengulun Carik dan lain sebagainya :
Om Çri dana dewika bawyam,
Sarwa rupa watitasya,
Sarwajanaka mitidatyam,
Çri Çri dewi namastute,
Om Çri dewi dipata ya namah.
(Ya Tuhan, saktiMu selaku Dewi Çri yang maha dermawan dan mulia yang menganugerahi semua makhluk dan selalu menyucikan hati semua makhluk, Ya Dewi Çri kami memujaMU )
8. Untuk hari Saraswati :
Om Brahma Putri Maha Dewi,
Brahmanya Brahma wadhini,
Saraswati sayajanam ,
Paja naya Saraswati,
Om Saraswati dipata ya namah
(Ya Tuhan SaktiMU selaku Maha Dewi dari Brahma, Pancaran pradana dari Brahnan, Saraswati dewi kemampuan berpikir, sarswati yang tiada tara kebijaksanaanNya. Ya Dewi Saraswati hamba menyembahMU)
9. Untuk pelinggih-pelinggih Bhatara Sakti Bawu Rauh :
Om Dwijendara purwanam Çiwam,
Brahmanam purwantistanam,
Sarwa dewa masariram,
Surya’mrtta pawitranam,
Om Dwijendar dipata ya namah.
(Ya Dwijendra yang berasal dari Çiwa, leluhur berasal dari Brahmana yang suci, telah berbadankan dewa-dewa, surya amerta yang suci murni. Hamba memujaMU)
Puja Tri Sandya
Mantram Trisandhyà
Om bhùr bhvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayàt
Om Nàràyana evedam sarvam
yad bhùtam yac ca bhavyam
niskalanko nirañjano nirvikalpo
niràkhyàtah suddo deva eko
Nàràyano na dvitìyo’sti kascit
Om tvam sivah tvam mahàdevah
ìsvarah paramesvarah
brahmà visnusca rudrasca
purusah parikìrtitah
Om pàpo’ham pàpakarmàham
pàpàtmà pàpasambhavah
tràhi màm pundarìkàksa
sabàhyàbhyàntarah sucih
Om ksamasva màm mahàdeva
sarvapràni hitankara
màm moca sarva pàpebyah
pàlayasva sadà siva
Om ksàntavyah kàyiko dosah
ksàntavyo vàciko mama
ksàntavyo mànaso dosah
tat pramàdàt ksamasva màm
Om sàntih, sàntih, sàntih, Om
Terjemahannya
Tuhan adalah bhùr svah. Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Hyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita.
Ya Tuhan, Nàràyana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Nàràyana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua.
Ya Tuhan, Engkau dipanggil Siwa, Mahàdewa, Iswara, Parameswara, Brahmà, Wisnu, Rudra, dan Purusa.
Ya Tuhan, hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba.
Ya Tuhan, ampunilah hamba Hyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah hamba oh Hyang Widhi.
Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelahiran hamba.
Ya Tuhan, semoga damai, damai, damai selamanya.
Hari Raya Saraswati
Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/ sakti dewa Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan. |
Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan- tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Yang lain memegang Wina (alat musik / rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan (swan), yaitu burung besar serupa angsa (goose), tetapi dapat terbang tinggi .
|
Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai
Saraswati Astawa
Om Saraswati namostubhyam
Warade kama rupini
Sidhir astu
karaksami
Sidhir bhawantu sadham
Om Pranamya sarwa
dewanca
Paramãtma nama wanca
Rupa sidhi karoksabet
Saraswati nama
myaham
Om padma patram wimalaksmi
Padma kçara nandini
Nityam padma
laya dewi
Tubhyam namah Saraswati
Om Brahma putri maha
dewi
Brahmanye Brahma nandini
Saraswati sajňna yani
Praya naya
Saraswati
Om kawyam wyakaranam tarkham
Weda çastram puranakam
Kalpa
sidhini tantrani
Twam prasadat karoksabet
Om sulabha twam swara
mantra
Irabheyam phalakam param
Sarwa kleça winaçanam
Santhi twam
sanggatot manam
Om atheni rasa hasranam
Sarwa roga winaçanam
Twam
mama sarwa sidhyantu
Sarwa karya prasidhyaye
Om Sang Saraswati sweta
warna ya namah swaha
Om Bang Saraswati rakta warna ya namah swaha
Om Tang
Saraswati pita warna ya namah swaha
Om Ang Saraswati kresna warna ya namah
swaha
Om Ing Saraswati wiçwa warna ya namah swaha
Om sukham bhawantu,
purnam bhawantu, çryam bhawantu
Om Sidhirastu tat astu astu swaha
Om
Saraswati dipata ya namah
Artinya :
Oh Hyang Widhi dalam
wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pujaan kami
Yang berwajah cantik, indah
berandeng
Berkuasa mempengaruhi kami
Selalu berkuasa pada serba
dunia
Oh Sang Hyang Saraswati, yang dihormati oleh semua dewa
dewi
Karena engkau adalah brahman yang dimuliakan
Merupakan wujud yang
kuasa
Kami muliakan Engkau dengan gelar Saraswati
Oh Sang Hyang
Saraswati, Engkau suci bersih bagai daun bunga teratai
Berambut indah bagai
sari bunga teratai
Selalu ada di sekitar padma
Patut dihormati sebagai
sumber ilmu pengetahuan
Oh Putri Sang Hyang Brahma, Engkai dewi yang maha
agung
Selalu ada bersama Brahma
Diberi gelar Saraswati yang
indah
Mengatur semua mahluk
Oh Sang hyang Saraswati, Engkau mengubah
segala ilmu tattwa
Weda dan Sastra, Purana-purana, serta ilmu Tantra
Yang
menjiwai dan berkuasa sepanjang jaman
Engkaulah penciptanya
Oh Sang
Hyang Saraswati, atas anugrahMu semoga doa kami menjadi bertuah,
Mendatangkan
segala kebaikan untuk seluruh dunia
Semoga bathin yang cemar dan kotor
menjadi musnah
Semoga damai dan bersatu bhatin kami kepadaMu
Oh Sang
Hyang Saraswati, berkenan kiranya Engkau menganugrahi perasaan bathin yang
indah, semoga yang menimbulkan penyakit menjadi musnah, berkenan kiranya engkau
menganugrahi kami serba sejahtera, sehingga tugas karya kami
terselesaikan
Oh Sang Hyang Saraswati, demikian puja kami kepadaMu, dalam
prabhawaMu sebagai Sang Hyang Sadyajata, Sang Hyang Bhamadewa, Sang Hyang Tat
purusha, Sang Hyang Aghora, serta dalam prabhawaMu sebagai Sang Hyang Içyana
dengan pancaran warna putih, merah, kuning, hitam, serta serba warna
Oh Hyang
Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, semoga Engkau senantiasa memberikan
kekuatan, keselamatan, semoga semuanya tiada halangan. Oh Sang Hyang Saraswati
hamba memuja-Mu
|
Subscribe to:
Posts (Atom)