Saturday, May 2, 2015

Cara Sembahyang

Sang Suyasa:
Gurunda, di dalam uraian mengenai upacara tadi Guru sering menyatakan perlu dilakukan persembahyangan. Mohon diberi penjelasan perihal sembahyang itu.
Rsi Dharmakerti:
Baiklah anakku. Ketahuilah bahwa ada tiga macam cara-cara sembahyang (muspa), yaitu:
  1. Muspa bersama dengan diantar puja Sang Sulinggih.
  2. Muspa bersama yang tidak diantar puja Sulinggih.
  3. Muspa yang dilakukan oleh perseorangan

    Dalam hal muspa inipun ada ketentuan-ketentuan yaitu:
    Untuk membangkitkan dan menjamin suasana kesucian, maka sebelum muspa hendaknya:
  1. Mandi dengan air bersih, kalau dapat dengan air wangi (kumkuman)
  2. Pakaian bersih yang khusus untuk muspa dengan paling sedikit kampuh atau selendang, secarik kain putih kuning
  3. Tempat dan alat persembahyangan yang bersih dan suci
  4. Waktu menuju ke tempat muspa pikiran sudah diarahkan ke hal-hal yang suci dengan lagu-lagu keagamaan (kidung).
  5. Duduk dengan rapi yaitu (pria dengan cara bersila dan wanita dengan bersimpuh)
  6. Melakukan “achamana” yaitu membersihkan tangan dan mulut dengan air atau bunga.
  7. Mempersiapkan dupa, kembang dan kembang berisi sesari untuk dana punia yaitu kewangen.
    Setelah persiapan selesai, mulai dengan sikap sembahyang:
  1. Pertama dengan tangan mulai dicakupkan, diangkat ke dahi tanpa kembang (muspa kosong) yaitu untuk menenangkan pikiran dengan membayangkan Sang Hyang Widhi.
  2. Sembah selanjutnya yang dengan tangan dicakupkan lagi serta ngagem kembang atau kewangen sampai ke atas dahi mengikuti antara puja Sulinggih yang ditujukan kepada:
    1. Hyang Surya Raditya sebagai saksi dalam persembahyangan (dengan bunga)
    2. Hyang Widhi Wasa, memuja keagunganNya, serta memohon maaf dan memohon anugrahNya (dengan bunga).
    3. Sarwa dewata atau Dewa Samudaya, yaitu para dewa dan bhatara bhatari leluhur untuk meminta tuntunannya (dengan kewangen).
  3. Sembah terakhir dengan tangan dicakupkan lagi tanpa kembang (muspa kosong) dengan maksud menerima limpahan anugrah Sang Hyang Widhi dan membayangkan Hyang Widhi kembali. Turun naiknya tangan diatur oleh mulai dan berhentinya suara genta Sulinggih.
  4. Menerima air suci (tirtha) dari Sang Hyang Widhi, sesuai dengan tuntunan Sulinggih untuk dipercikkan ke ubun-ubun, diminum dan diraupkan ke muka sebagai wakil dari seluruh badan, dengan maksud mensucikan pikiran (idep), ucapan (sabda), perbuatan (bayu) secara berturut-turut; dipercikkan untuk pensucian pikiran, diminum untuk kesucian ucapan dan raupan untuk pensucian perbuatan.
  5. Menerima bija (beras direndam dalam air cendana) untuk dimakan dan ditempelkan di dahi sebagai simbul mendapat rejeki dari Hyang Widhi Wasa.
  6. Menerima/mengambil bunga yang ada di tempat tirtha untuk disuntingkan, guna menambah berserinya hati dan perasaan setelah menghaturkan bhakti.
  7. Bangun dengan tertib, diusahakan agar mulai dari barisan belakang.
    Jika kita sembahyang bersama tanpa di antar puja Sulinggih maka dapat dilakukan sebagai berikut:
    Setelah Pemangku (pemuka agama) selesai dengan menghaturkan yadnya dan tiba saatnya mulai sembahyang, pemuka agama mempersilahkan dimulainya sembahyang pada Sang Hyang Widhi dan seterusnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan cara persembahyangan tersebut di atas. Segala antaran sembahyang diucapkan dengan japa (ucapan pikiran) sendiri-sendiri.
    Setiap pergantian naik turunnya tangan waktu muspa dapat diatur dengan baik-bait kekawin yang daapt diambil dari Arjuna Wiwaha yaitu:
    Ong sembah ning anatha tinghalana de triloka sarana (muspa angka 2a diatas selesai)
    Wahya dyatmika sembahing hulun i jengta tan hana waneh (muspa angka 2b diatas selesai)
    Sang lwir agni saking tahen kadi minyak saking dadi kita (muspa angka 2c diatas selesai)
    Sang saksat metu yang hana wang amuter tutus pinahayu (sembah angka 3 selesai)
    Artinya:
    Saksikanlah ya Hyang Widhi Wasa penguasa ketiga dunia sembah sujud hamba orang nista ini, lahir batin hamba menghaturkan sembah kehadapan Hyang Widhi Wasa tidak ada lainnya lagi. Hyang Widhi Wasa sebagai api yang ada di dalam kayu (pembuat api), sebagai minyak yang ada dalam santan (susu). Yang pasti akan nampak nyata, jika ada orang yang membahas memperdalam ajaran suci luhur.
    (Keterangan: Api akan keluar dari tongkat kayu kecil yang diputar-putarkan pada kayu lainnya (makusu). Minyak akan keluar jika susu atau santan di-aduk-aduk di atas api).
    Adapun untuk sembahyang sendiri-sendiri:
    Dapat dilakukan di waktu dan tempat yang dipilih sendiri dengan mengikuti tuntunan Tri Sandya.
    Persembahyangan biasanya dilakukan oleh umum pada waktu upacara-upacara Dewa yadnya dan upacara Bhuta yadnya. Sedangkan pada waktu upacara Manusa yadnya, Pitra yadnya dan Rsi Yadnya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai sangkutan hubungan kekeluargaan.
    Disamping itu anakku, ada juga ketentuan lain yang patut diingat yaitu bermacam sikap menyembah yaitu:
  1. Kehadapan Sang Hyang Widhi, cakupkan tangan diletakkan di atas dahi hingga ujung jari ada di atas ubun-ubun.
  2. Kepada dewa-dewa supaya ujung jari di dahi di antara kening.
  3. Kepada pitara ujung jari supaya di ujung hidung
  4. Kepada manusia, tangan di hulu hati, dengan ujung jari mengarah ke atas
  5. Kepada bhuta, tangan di hulu hati, tetapi ujung jari mengarah ke bawah
    Sang Suyasa:
    Mohon Gurunda lebih memperinci lagi tentang pelaksanaan sembahyang agar hamba dapat melaksanakannya dengan tepat walaupun hamba lakukan sendiri.
    Rsi Dharmakerti:
    Baiklah anakku, dengarkanlah. Sebagai sudah anaknda ketahui bahwa yang harus dipersiapkan ialah air, dupa, bunga dan kewangen. Semua ini diletakkan di hadapan kita. Sikap sembahyang adalah dengan duduk bersila bagi laki-laki dan bersimpuh bagi wanita. Tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan boleh dilakukan secara berdiri (pada asana).
    Pelaksanaan selanjutnya ialah:
  1. Bukalah tutup kepala agar ubun-ubun yang dianggap sebagai Siwa dwara atau pintu Hyang Widhi tidak terhalang. (Perhatikan kata-kata “dwara” yang sama dengan kata “door” dan “deur” dalam bahasa Inggris dan Belanda yang arinya “pintu – Red).
  2. Duduklah dengan tenang serta memulai memusatkan pikiran dengan ucapan mantra:
    Om prasadasthiti sarira, Siwa suci nirmala namah
    O, Hyang Widhi yang hamba puja, Hyang Widhi dalam wujud Siwa suci dan tak bernoda, hamba telah duduk dengan tenang.
  3. Cucilah tangan dengan air atau bungan dengan puja:
    1. untuk tangan kanan
      “Om suddhaya mam swaha”
      (O Hyang Widhi semoga disucikan tangan kami)
    2. untuk tangan kiri
      “Om atisuddhaya mam swaha”
      (O Hyang Widhi semoga sangat disucikan tangan kami)
  4. Bersihkan mulut dengan berkumur air serta puja
    “Om waktra soddhaya mam swaha”
    (O, Hyang Widhi mohon dibersihkan mulut hamba)
  5. Ambil dupa yang telah dinyalakan, pegang setinggi ulu hati dengan tangan berbentuk kojung dan mengucapkan mantra:
    ” Om Ang Dipastraya namah swaha”
    (O, Hyang Widhi, hamba mohon ketajaman sinarMu menyaksikan dan mensucikan sembah hamba).
  6. Mulailah sembahyang atau muspa sebagai ketentuan-ketentuan di atas dengan catatan bahwa setiap muspa kosong sebelum tangan diangkat, keduanya harus diasapi di atas dupa terlebih dahulu dengan mantra :
    “Om soddhaya mam swaha“
    Demikian juga kalau bunga atau kewangen yang akan dipakai muspa harus diasapi bersama mantra
    “Om puspa danta ya namah swaha”
    (O, Hyang Widhi hamba memohon, jadikanlah bunga ini suci).
    Muspa selanjutnya ialah:
    1. Muspa kosong (hanya dua telapak tangan dicakupkan tanpa bunga) dengan puja:
      “Om atma tatwatma soddha ya mam swaha”
      O, Hyang Widhi yang merupakan atma dari atma tatwa, sucikanlah hamba
    2. Muspa dengan bunga ditujukan pada Siwa Raditya, yaitu manifestasi Hyang Widhi sebagai matahari untu menyaksikan dan mengantarkan sembah kita. Puja mantranya ialah:
      “Om adityasya paramjyoti, rakta tejo namo stute,
      sweta pankaja mandhyasythe,bhaskaraya namo’stute

      Om Pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam
      Pranamyaditya siwartham, mukti mukti warapradam
      Om hrang hring sah Parama Siwa raditya ya nama swaha”
      O, Hyang Widhi, hamba memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sinar surya yang merah cemerlang, berkilauan cahayaMu. Engkau putih suci, bersemayam di tengah-tengah laksana teratai. Engkaulah, Bhaskara (sumber cahaya), yang hampa puja selalu.
      O, Hyang Widhi, Cahaya sumber segala sinar, hamba menyembahMu agar segala dosa dan kotoran yang ada pada jiwa hamba menjadi sirna binasa. Karena Dikau adalah sumber bhukti dan mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani. Hamba memujaMu,
      O Hyang Widhi Paramasiwa aditya.
      Setelah selesai tangan diturunkan, bunga atau kewangen dibuang secara pelan dihadapan kita.
    3. Muspa dengan bunga atau kewangen kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan puja:
      “Om nama dewa adisthanaya,
       sarwawya pinesiwaya
       padmasana ekapratisthaya,
       ardhanareswarya namo namah swaha”
      O, Hyang Widhi hamba memujaMu sebagai Dewa sumber sinar yang bersinggasana paling utama, hamba memuja Dikau sebagai Siwa Penguasa segala mahluk, hamba memujaMu sebagai satu-satunya penegak segala yang bersemayam di Padmasana. Hamba menujukan pemujaan hamba padaMu Siwaraditya dan hamba puja Hyang Widhi sebagai Ardhanareswari (Perwujudan tunggal dari laki – perempuan).
    4. Muspa dengan bunga kehadapan Hyang Widhi memohon keselamatan dan kesejahteraan Negara dan Bangsa dengan puja (hanya pada waktu-waktu tertentu).
      “Om Brahma Wisnu Iswara dewa
      jiwatmanam trilokanam
      sarwa jagat pratisthanam
      sarwa roga wimursitam
      sarwa roga winasanam
      sarwa wighna winasanam
      wighna desa winasanam
      Om namo siwaya”
      O, Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemralina serta sebagai jiwa dari ketiga dunia ini. Semoga seluruh alam/negara menjadi langgeng, semua penyakit semoga menghilang, semua penyakit semoga binasa, semua halangan semoga binasa, semua bahaya semoga menghilang, semoga binasa semua perintang yang ada di negara kami Semoga Hyang Widhi memberkahi.
    5. Muspa dengan kewangen ditujukan kepada Hyang Widhi guna memohon anugrah dengan puja:
      “Om anugraha manoharam, dewadattanugrahakam,
      hyarchanam sarwapujanam, namah sarwanugrahakam.
      Om dewa-dewi mahasiddhi, yajnika tamulat idam,
      laksmisidhisca dirghayuh, nirwigna sukhawrdhitah,

      Om ghring anugraha manoharaya namo namah swaha”
      Hyang Widhi, limpahkanlah anugrahMu yang menggembirakan pada hambaMu, Hyang Widhi maha pemurah yang melimpahkan segala kebahagiaan, yang dicita-citakan serta dipuja puji dengan segala pujian, hamba puja Hyang Widhi yang melimpahkan segala macam anugrah. Hyang Widhi sumber kesidian semua dewata, yang semuanya berasal dari korban suci kasih sayangMu. Limpahkanlah kemakmuran, kesidian dan umur panjang serta keselamatan dan kebahagiaan selalu. Hamba puja Dikau untuk dianugrahi kebaktian tinggi. Hamba puja Dikau untuk dianugrahi kebahagiaan.
    6. Muspa kosong dengan tujuan menghaturkan suksma (terima kasih) atas anugrah yang telah dilimpahkan dan membayangkan Hyang Widhi kembali ke asal, dengan puja:
      Om dewasuksma parama achintya nama swaha
      Om santih, santih, santih Om
      Hyang Widhi, hamba memujaMu dalam wujud sinar suci yang gaib serta wujud maha agung yang tak dapat dipikirkan. Semoga semuanya damai di hati, damai di dunia, damai selalu Oh Hyang Widhi
      .
      Dengan ini berakhirlah rangkaian muspa yang disusul dengan memohon tirtha (air suci yang dipujai oleh Sulinggih) dan wasuh pada (air suci pencuci kaki Hyang Widhi) yang dipercikkan, diminum dan diraupkan masing-masing tiga kali dengan mantra :
      “Om parathama sudha dwitya sudha, tritya sudha, sudha wari astu”
      Pertama suci, kedua suci, ketiga suci, suci suci semoga suci dengan air ini

No comments:

Post a Comment